Medan, 16 Agustus 2024 – Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo sukses menyelenggarakan Workshop Art Therapy bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Acara yang digelar secara daring melalui Zoom Meeting ini menghadirkan dua narasumber dari Yayasan Khasanah Bunda Emily, yakni Ibu Emilya Ginting, S.Psi., M.Psi., CPHt., Psikolog, dan Fitri Evita, SE., S.Pd., M.Sn. (kordinator Prodi Periklanan Politeknik Negeri Media Kreatif PSDKU Medan Sumatera Utara) - Praktisi Seni dalam Terapi. Kegiatan ini dibuka oleh Ka. Prodi PGSD Kemil Wachidah, M.Pd., dan dihadiri pula oleh Dosen Prodi PGSD,  Dr. Tri Linggo Wati, M.Pd. 

Workshop ini mengusung tema “Pengembangan Kompetensi Seni Rupa sebagai Sarana Terapi bagi Anak Berkebutuhan Khusus” dan diikuti sebanyak 105 peserta. Kedua narasumber memaparkan pentingnya seni sebagai media efektif dalam meningkatkan atensi, imajinasi, serta wawasan anak-anak ABK. Seni dianggap mampu menjadi wadah kreatif yang membantu mengasah pola pikir konstruktif dan memperluas wawasan anak-anak tersebut.

Menurut narasumber, fokus terapi seni terletak pada proses kreatifnya, bukan pada hasil akhir atau karya yang dihasilkan. Tujuannya adalah untuk memahami dan memaknai proses berlangsungnya afeksi negatif dan positif berupa emosi yang ada pada anak-anak selama mereka memproses sebuah karya. Diharapkan, melibatkan seni dalam terapi, dapat meregulasi pertumbuhan emosi, bergerak dari afek negatif  bertumbuh pada afek positif menciptkan kesejahteraan psikologis ada diri mereka. 

Emilya Ginting, selaku narasumber  menjelaskan mengenai bagaimana aktifitas seni digunakan dalam terapi memberikan pengaruh meningkatkan kefokusan, mulai dari awal sesi terapi seni dimulai bergerak memunculkan kesadaran diri sehingga dalam suasana perasaan masalah-masalah emosi mendapatkan ruang untuk diekpresikan sejalan dengan meningkatnya fokus individu yang menjalani seni dalam sesi terapi. Seni dalam terapi juga memberikan afek positif dan regulatif bagi penyintas depresi. Proses menumbuhkan dorongan untuk fokus pada penerimaan diri (self accaptance) paska pengalaman  percobaan bunuh diri. Emilya Ginting juga menjelaskan bahwa seni dalam terapi bagi anak tuna rungu dengan alat bantu mendengar dan  implantasi pendengaran memberikan pengaruh signifikan dalam kurun waktu tertentu sebagai kegiatan terapeutik yang menyenangkan selama mengajarkan mendengar untuk mengembangkan bahasa mereka selama periode kritis setelah dipasangkan alat bantu mendengarnya. Pendapat inipun ditambahkan lagi oleh narasumber kedua, Fitri Evita, yang menjelaskan dalam kegiatan seni dalam terapi ada berbagai teknik yang digunakan dalam terapi seni rupa, di antaranya:

  1. Teknik Kolase,
  2. Teknik Meniru,
  3. Teknik Simulasi,
  4. Teknik Eksplorasi Menggambar dan Melukis Bebas,
  5. Teknik Merangsang Ide dengan Tema, serta
  6. Penerapan Seni Lukis Naratif.

Fitri juga menguraikan pentingnya monitoring dan evaluasi dalam proses terapi, yang dilakukan untuk menilai efektivitas teknik seni terapeutik yang diterapkan. Ia menekankan bahwa teknik terapi ini sangat bermanfaat bagi anak-anak dengan GPPH/ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), terutama yang memiliki sifat ekstrovert.

"Banyak teknik terapi yang dapat dilakukan untuk membantu anak-anak ADHD/GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas). Teknik yang paling sesuai adalah dengan menyediakan ruang nyaman yang mereka sukai, sehingga mampu menyalurkan energi dan membuat mereka menikmati prosesnya,” ungkap Fitri.

Mengenalkan berbagai teknik seni dalam terapi merupakan proses penilaian berlangsung (ongoing assesmen) yang dapat dilakukan oleh para praktisi terapi seni,  terutama dalam memahami status emosi sampai regulasi emosi anak. Hal ini dipertegas oleh Emilya Ginting, yang menjelaskan bahwa pilihan warna dalam karya anak dapat mencerminkan kondisi pikiran dan perasaan mereka. Misalnya, anak dengan ketidakmampuan intelektual cenderung menggunakan warna-warna gelap, sementara anak tuna rungu dan hiperaktif lebih memilih warna-warna cerah. Sebaliknya, anak dengan IQ rata-rata atau autisme biasanya menghasilkan karya konstruktif yang imajinatif,  yang sering kali terinspirasi dari pengalaman yang mereka alami melalui mendengar dan  tercurah dalam bentuk yang mereka visualisasikan selama terlibat dalam seni terapi.

Emilya juga menekankan bahwa seni dalam terapi  ini tidak hanya bermanfaat bagi anak-anak berkebutuhan khusus, tetapi juga bagi orang dewasa, terutama yang mengalami gangguan kecemasan. “Terapi ini bisa membantu orang dewasa yang mengalami gangguan kecemasan untuk kembali fokus dan mengambil waktu untuk merileksasikan diri mereka. Pengembangan seni dalam terapi ini sangat penting karena mampu membantu mengurangi pikiran yang berlebihan yang menjadi ciri sifat tanda-tanda gangguan kecemasan,” jelasnya.

Kegiatan ini diikuti dengan antusias oleh dosen dan mahasiswa yang hadir. Workshop ini memberikan wawasan baru mengenai bagaimana seni dalam terapi dapat menjadi alat bantu yang efektif dalam mengoptimalkan potensi dan perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus dalam situasi terapeutik.